profil

Minggu, 07 November 2010

Dampak akibat perubahan iklim

Wabah Demam

Contoh dampak perubahan cuaca pada penyakit termasuk wabah demam Rift Valley, suatu bencana oleh virus yang dibawa oleh nyamuk di sebagian Afrika Timur yang sangat dipengaruhi oleh hujan lebat. Wabah penyakit ini pada tahun 1998 telah merenggut ribuan korban jiwa.


Ada bukti kuat wabah demam Rift Valley berhubungan dengan fenomena El Nino selama bertahun-tahun, yang menyebabkan perubahan suhu air laut di Pasifik belahan timur dan mempengaruhi cuaca di seluruh dunia.Dalam keadaan yang lebih basah, populasi nyamuk akan meningkat dan penyakit yang dibawa oleh serangga juga akan meningkat dan menular pada ternak maupun manusia.


Penyakit manusia yang menyebar melalui gigitan nyamuk misalnya malaria, penyakit lyam, demam kuning, ensepaliyis, demam berdarah dan lain-lain makin menyebar ke banyak tempat dalam beberapa dasawarsa ini, kata para pakar. Jenis penyakit lain yang menyerang ternak seperti penyakit kuda di Afrika, virus lidah-biru juga menyebar lebih luas dan kebanyakan pindah ke kawasan di garis lintang yang lebih tinggi, seiring dengan penyebaran nyamuk dan kutu. Penelitian laboratorium dan lapangan mendukung teori bahwa pemanasan global mendorong perubahan tersebut.


Sektor pertanian

Sektor pertanian akan terpengaruh melalui penurunan produktivitas pangan yang disebabkan oleh peningkatan sterilitas serealia, penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan penyakit. Di beberapa tempat di negara maju (lintang tinggi) peningkatan konsentrasi CO2 akan meningkatkan produktivitas karena asimilasi meningkat, tetapi di daerah tropis yang sebagian besar negara berkembang, peningkatan asimilasi tersebut tidak signifikan dibanding respirasi yang juga meningkat. Secara keseluruhan jika adaptasi tidak dilakukan, dunia akan mengalami penurunan produksi pangan hingga 7 persen.


Namun dengan adaptasi yang tingkatnya lanjut, artinya biayanya tinggi, produksi pangan dapat distabilkan. Dengan kata lain stabilisasi produksi pangan pada iklim yang berubah akan memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen (Matthews et al., 1995).


pergeseran spesies vegetasi dan ekosistem

Suhu yang lebih hangat akan menyebabkan pergeseran spesies vegetasi dan ekosistem. Daerah pegunungan akan kehilangan banyak spesies vegetasi aslinya dan digantikan oleh spesies vegetasi dataran rendah. Bersamaan dengan itu kondisi sumberdaya air yang berasal dari pegunungan juga akan mengalami gangguan. Selanjutnya stabilitas tanah di daerah pegunungan juga terganggu dan sulit mempertahankan keberadaan vegetasi aslinya. Dampak ini tidak begitu nyata di daerah lintang rendah atau daerah berelevasi rendah.


Jika kebakaran hutan makin sering dijumpai di Indonesia, agak sulit menghubungkan antara kejadian tersebut dengan perubahan iklim, sebab sebagian besar (kalau tidak seluruhnya) kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia yang berkaitan dengan pembukaan lahan. Bahwa kejadiannya bersamaan dengan kejadian El-Nino karena fenomena ini memberikan kondisi cuaca yang kering yang mempermudah terjadinya kebakaran. Namun seperti diuraikan di atas El-Nino adalah fenomena alam yang terkait dengan peristiwa iklim ekstrem dalam variabilitas iklim, bukan perubahan iklim dalam arti seperti yang diuraikan di atas.

Meningkatnya jumlah penduduk memberikan tekanan pada penyediaan air, terutama pada daerah perkotaan. Saat ini sudah banyak penduduk perkotaan yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih, terutama mereka yang berpendapatan dan berpendidikan atau berketerampilan rendah.


Dampak perubahan iklim yang menyebabkan perubahan suhu dan curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air dari limpasan permukaan, air tanah dan bentuk reservoir lainnya. Pada tahun 2080 akan terdapat 2 hingga 3,5 milyar orang akan mengalami kekurangan air. Pada beberapa daerah aliran sungai (DAS) penting di Indonesia ketersediaan air permukaan diperkirakan akan meningkat karena meningkatnya suplus dan menurunnya defisit. Di DAS Citarum, Jawa Barat peningkatan tersebut mencapai 32%, di DAS Brantas Jawa Timur 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi Selatan 132% (Murdiyarso, 1994).


Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena menurunnya daya tampung sungai akibat peningkatan limpasan permukaan dan menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan erosi dan sedimentasi. Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang signifikan selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$ 300 milyar pada dekade terakhir dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun 1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang paling rentan dari akibat kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, mukalaut telah naik antara 10-25 cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah meningkatkan pemuaian volume air laut dan meningkatkan ketinggiannya.


Demikian juga penambahan volume air laut juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi. Dari berbagai skenario, peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun mendatang. Dengan panjang pantainya yang lebih dari 80.000 km, di mana lebih dari 50 persen diantaranya merupakan pantai landai,Indonesia cukup rentan terhadap kenaikan muka-laut seperti negara-negara yang berpantai landai seperti Bangladesh. Kenaikan muka laut hingga 1,5 m dapat berpengaruh terhadap 17 juta penduduk Bangladesh. Tetapi hanya dengan kenaikan 1 m dampak sosial-ekonomi terhadap pertanian pantai di beberapa kabupaten di Jawa Barat bagian utara sudah sangat besar (Parry et al., 1992).


Transmisi beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor-faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector-borne diseases,VBDs) seperti malaria, demam berdarah (dengeue) dan kaki gajah (schistosomiosis) perlu diwaspadai karena transmisi penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakanpenyebab kematian utama.


IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya selang suhu di mana vektor dan parasit penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah kasus malaria di Asia hingga 27 persen, demam berdarah hingga 47 persen dan kaki gajah hingga 17 persen. Di Indonesia daerah-daerah baru yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya. Penjangkitan VBD bahkan terjadi lagi di daerah-daerah lama yang selama ini sudah dinyatakan bebas. Hal ini disebabkan karena penggunaan bahan kimia dalam jangka panjang telah menimbulkan daya tahan vektor. Disamping itu predator bagi vektor tersebut juga ikut terbasmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar