profil

Selasa, 18 Oktober 2011

contoh pelanggaran etika 2


Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream) yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Medan, WASPADA Online

Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream) yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Media pers semata mencari sensasional dan tidak disadarinya telah merugikan publik. Permasalahan ini dinilai bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik wartawan Indonesia yang baru, menuntut wartawan menempuh cara yang profesional termasuk menghormati hak privasi atau masalah kehidupan pribadi orang.

Demikian terungkap dalam Seminar Sehari "Etika Privasi dan Pengaduan Publik" diadakan oleh Lembaga Pers Dr. Sutomo bekerjasama dengan Exxon Mobil di Madani Hotel Medan, Rabu (5/12), dengan pembicara pengajar LPDS Atmakusamah Astraatmadja, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso, Ketua PWI Sumut H.A. Muchyan AA, Direktur Eksekutif Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) J Anto dimoderatori Warief Djajanto juga pengajar LPDS. Atmakusamah yang juga ketua Dewan Pengurus Voice of Human Right (VHR) News Centre di Jakarta, dalam seminar itu, mengatakan bentuk pelanggaran etika privasi yang kerap dilakukan media pers antara lain pers membuat nama lengkap, identitas dan foto anak di bawah umur (di bawah 16 tahun) yang melakukan tindak pidana, pasangan bukan suami istri yang berkencan terkena hukuman cambuk seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan pelaku tindak kejahatan serta aborsi.

Menurut Atmakusumah, hubungan intim dan aborsi termasuk masalah privasi sepanjang peristiwa itu tidak terjadi tindak kekerasan karena dalam etika pers, aborsi juga termasuk dalam kategori perawatan kesehatan dan pengobatan. Kategori privasi lainnya adalah kelahiran, kematian dan perkawinan yang pemberitaannya harus memperoleh izin dari subjek berita yang bersangkutan dari keluarganya. Atmakusumah menyayangkan, pelanggaran kode etik ini banyak dilakukan media arus utama yang telah merugikan publik.

Contoh kasus, katanya, di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) secara sensasional media pers membuat foto, nama lengkap dosen dan mahasiswa yang melakukan hubungan intim termasuk mahasiswa yang melakukan aborsi. Selain itu, hukum cambuk bagi bukan suami istri berkencan di NAD disiarkan foto dan identitasnya. Sangat sedikit media berusaha menghindari pelanggaran etika dalam pemberitaan itu. "Seharusnya berita IPDN dan pelanggaran qanun khalwat disiarkan sanksi pelanggarannya saja tanpa menyiarkan identitas dan foto mereka," katanya.

900 Pengaduan
Sementara Lukas Luwarso mengatakan, dampak pelanggaran kode etik jurnalistik, Dewan Pers menangani 900 pengaduan masyarakat selama 2000-2007. Dewan Pers telah menyelesaikan pengaduan itu dengan menyurati media pers berisi imbauan dan saran.

Selain itu, lanjutnya, Dewan Pers yang fungsinya hanya sebagai mediator jika musyawarah tidak tercapai antara publik dan media pers, pernyataan penilaian dan rekomendasi (PRR) dikeluarkan. Lukas tidak sependapat dikatakan Dewan Pers pasif menangani sengketa pers. Alasannya memang fungsi Dewan Pers menangani persoalan-persoalan etika pers sesuai UU No 40 tahun 1999. Jika ingin pengawasan terhadap pemberitaan lebih maksimal, Lukas lebih setuju dibentuk komisi.

Menjadi hal lumrah
Ketua PWI Sumut HA Muhyan AA mengatakan, khusus di Sumut pelanggaran etika jurnalistik seperti hal yang lumrah. Dia juga memampangkan beberapa contoh berita dan foto sadis yang diterbitkan media lokal dan mendapat perhatian serius dari pembicara dan Dewan Pers.

Menurut Muhyan, pelanggaran UU No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik disebabkan beberapa faktor yakni lemahnya sanksi hukum terhadap media dan wartawan yang terbukti melanggar hukum, lemahnya pengawasan Dewan Pers, organisasi pers dan masyarakat atas pelanggaran kode etik, lemahnya pemahaman atas UU No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik, tidak adanya standarisasi profesi, penerbitan dan organisasi kewartawanan. Rendahnya kesejahteraan wartawan juga salah satu faktor.

Seorang dosen yang mengajar sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif sekaligus melanggar etika perguruan tingginya. Dalam dunia periklanan, sangat disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan hukum positif tersebut sudah sangat kacau balau. Banyak undang-undang di Indonesia yang mengacau balaukan antara area cakupan etika dan area cakupan hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang  melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.”

Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa ”pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)”). Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.

Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus baru- baru ini. Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian masyarakat adalah LC fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah uang yang cukup fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa gelintir saja. Ini lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI tahun 2004.

Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup lengkap. Sebut saja UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik Internal maupun eksternal juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan operasional perbankan. Namun masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan penyimpangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar