profil

Selasa, 18 Oktober 2011

etika khusus

Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya). Kemudian etika khusus ini dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial.

a. Etika Individu
Etika individual ini adalah etika yang berkaitan dengan kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya:
1)   Memelihara kesehatan dan kesucian lahiriah dan batiniah.
2)   Memelihara kerapian diri, kamar, tempat tingggal, dan lainnya.
3)   Berlaku tenang
4)   Meningkatkan ilmu pengetahuan.
5)   Membina kedisiplinan , dan lainnya.

b. Etika sosial
Etika social adalah etika yang membahas tentang kewajiban, sikap, dan pola perilaku manusia sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara individu maupun dalam kelembagaan (organisasi, profesi, keluarga, negara, dan lainnya).Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
 
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap sesama
2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi

kelebihan & kekurangan Eudemonisme


  • Kata ‘eudemonisme’ berasal dari kata yunani ‘eudaimonia’ yang secara harafiah berarti : mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur dan beruntung.
  • Eudemonisme adalah menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai penyelarasan diri. Orang yang telah mencapai tingkatan ‘eudemonia’ mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya jasmani, melainkan juga secara rohani. Pemahaman ini terjelma dalam sistem2 yang telah lanjut perkembangannya, namun juga sebagai keyakinan bahwa manusia hidup di dunia untuk berbahagia. Mereka mencari tujuan hidup pada keadaan2 yang terdapat dalam dirinya sendiri, yang tidak ia kuasai atau hanya sebagian kecil yang dikuasainya.
Menurut faham Eudemonisme : baik adalah jika tindakan yang dilakukan sesuai dengan tujuannya. Buruk adalah jika tindakan yang dilakukan menyimpang dari tujuannya. Semua tindakan manusia mempunyai tujuan namun tujuan tersebut bukanlah tujuan akhir. Dari setiap tujuan tersebut ada tujuan yang paling tinggi yaitu untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang merupakan tujuan akhir tindakan manusia.

Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan tujuan manusia adalah kebahagiaan. Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati

  1. Eudemonisme : pandangan etika normatif yang menganggap bahwa kebahagiaan sebagai satu-satunya yang baik demi dirinya sendiri. Adapun kebahagiaan (eudamonia) adalah keadaan dimana seluruh bakat,kemampuan, potensi, dimensi manusia sudah berekembang penuh atau paripurna.
  1. Kaidah eudamonisme : Bertindaklah sedemikian rupa sehinga engkau mencapai kebahagiaan yang sebesar mungkin. Manusia mencapai kebahagiaan menurut Aristoteles lewat theorea (merenungkan realitas secara mendalam) dan praksis (keterlibatan dalam hidup berpolis)
  1. Tanggapan atas teori etika pengembangan diri.
+ mengatasi hedonisme dengan menekan pemenuhan berbagai kecakapan/dimensi yang plural
- kebahagian yang dicari-cari secara obsesif akan jatuh ke dalam egoisme. Perspektif eudamonisme masih berpuat pada kebahagiaan diri sendiri.
- Orang lain belum dianggap sebagai person yang merupakan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sarana untuk/sejauh membantu mencapai tujuan kebahagiaanku.

contoh pelanggaran etika 2


Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream) yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Medan, WASPADA Online

Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream) yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Media pers semata mencari sensasional dan tidak disadarinya telah merugikan publik. Permasalahan ini dinilai bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik wartawan Indonesia yang baru, menuntut wartawan menempuh cara yang profesional termasuk menghormati hak privasi atau masalah kehidupan pribadi orang.

Demikian terungkap dalam Seminar Sehari "Etika Privasi dan Pengaduan Publik" diadakan oleh Lembaga Pers Dr. Sutomo bekerjasama dengan Exxon Mobil di Madani Hotel Medan, Rabu (5/12), dengan pembicara pengajar LPDS Atmakusamah Astraatmadja, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso, Ketua PWI Sumut H.A. Muchyan AA, Direktur Eksekutif Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) J Anto dimoderatori Warief Djajanto juga pengajar LPDS. Atmakusamah yang juga ketua Dewan Pengurus Voice of Human Right (VHR) News Centre di Jakarta, dalam seminar itu, mengatakan bentuk pelanggaran etika privasi yang kerap dilakukan media pers antara lain pers membuat nama lengkap, identitas dan foto anak di bawah umur (di bawah 16 tahun) yang melakukan tindak pidana, pasangan bukan suami istri yang berkencan terkena hukuman cambuk seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan pelaku tindak kejahatan serta aborsi.

Menurut Atmakusumah, hubungan intim dan aborsi termasuk masalah privasi sepanjang peristiwa itu tidak terjadi tindak kekerasan karena dalam etika pers, aborsi juga termasuk dalam kategori perawatan kesehatan dan pengobatan. Kategori privasi lainnya adalah kelahiran, kematian dan perkawinan yang pemberitaannya harus memperoleh izin dari subjek berita yang bersangkutan dari keluarganya. Atmakusumah menyayangkan, pelanggaran kode etik ini banyak dilakukan media arus utama yang telah merugikan publik.

Contoh kasus, katanya, di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) secara sensasional media pers membuat foto, nama lengkap dosen dan mahasiswa yang melakukan hubungan intim termasuk mahasiswa yang melakukan aborsi. Selain itu, hukum cambuk bagi bukan suami istri berkencan di NAD disiarkan foto dan identitasnya. Sangat sedikit media berusaha menghindari pelanggaran etika dalam pemberitaan itu. "Seharusnya berita IPDN dan pelanggaran qanun khalwat disiarkan sanksi pelanggarannya saja tanpa menyiarkan identitas dan foto mereka," katanya.

900 Pengaduan
Sementara Lukas Luwarso mengatakan, dampak pelanggaran kode etik jurnalistik, Dewan Pers menangani 900 pengaduan masyarakat selama 2000-2007. Dewan Pers telah menyelesaikan pengaduan itu dengan menyurati media pers berisi imbauan dan saran.

Selain itu, lanjutnya, Dewan Pers yang fungsinya hanya sebagai mediator jika musyawarah tidak tercapai antara publik dan media pers, pernyataan penilaian dan rekomendasi (PRR) dikeluarkan. Lukas tidak sependapat dikatakan Dewan Pers pasif menangani sengketa pers. Alasannya memang fungsi Dewan Pers menangani persoalan-persoalan etika pers sesuai UU No 40 tahun 1999. Jika ingin pengawasan terhadap pemberitaan lebih maksimal, Lukas lebih setuju dibentuk komisi.

Menjadi hal lumrah
Ketua PWI Sumut HA Muhyan AA mengatakan, khusus di Sumut pelanggaran etika jurnalistik seperti hal yang lumrah. Dia juga memampangkan beberapa contoh berita dan foto sadis yang diterbitkan media lokal dan mendapat perhatian serius dari pembicara dan Dewan Pers.

Menurut Muhyan, pelanggaran UU No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik disebabkan beberapa faktor yakni lemahnya sanksi hukum terhadap media dan wartawan yang terbukti melanggar hukum, lemahnya pengawasan Dewan Pers, organisasi pers dan masyarakat atas pelanggaran kode etik, lemahnya pemahaman atas UU No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik, tidak adanya standarisasi profesi, penerbitan dan organisasi kewartawanan. Rendahnya kesejahteraan wartawan juga salah satu faktor.

Seorang dosen yang mengajar sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif sekaligus melanggar etika perguruan tingginya. Dalam dunia periklanan, sangat disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan hukum positif tersebut sudah sangat kacau balau. Banyak undang-undang di Indonesia yang mengacau balaukan antara area cakupan etika dan area cakupan hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang  melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.”

Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa ”pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)”). Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.

Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus baru- baru ini. Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian masyarakat adalah LC fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah uang yang cukup fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa gelintir saja. Ini lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI tahun 2004.

Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup lengkap. Sebut saja UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik Internal maupun eksternal juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan operasional perbankan. Namun masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan penyimpangan.

contoh pelanggaran etika

Adapun beberapa hal yang membuat seseorang melanggar etika antara lain:
  1. Kebutuhan Individu : Kebutuhan seringkali adalah hal utama yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pelanggaran, misalnya seorang anak rela mencuri untuk mendapatkan uang demi untuk membayar uang tunggakan sekolah. Seorang bapak yang akhirnya tewas digebukin massa gara-gara mengambil susu dan beras di swalayan untuk menyambung hidup bayi dan istrinya. Karyawan sebuah pabrik yang bertindak anarkis, karena THR belum juga dibayarkan, padahal sudah melebihi jadwal yang dietentukan pemerintah, dan lain-lain
  2. Tidak Ada Pedoman : Ketika masyarakat dihadapkan pada persoalan yang belum jelas aturannya, maka mereka melakukan intrepretasi sendiri atas persoalan yang dialami. Contohnya pembangunan rumah kumuh di pinggir rel kereta api, di bawah jembatan layang, di tanah kosong. Hal ini dikarenakan belum adanya perda ataupun ketentuan mengikat yang memberikan kejelasan bahwa daerah tersebut tidak boleh ditempati dan dibangun pemukiman liar. Sehingga masyarakat mengitrepretasikan, bahwa lahan kosong yang tidak digunakan boleh dibuat tempat tinggal, apalagi mereka bagian dari warga Negara. Sehingga pada saat tiba waktunya untk membersihkan, maka sudak terlalu komplek permasalahannya dan sulit dipecahkan.
  3. Perilaku dan Kebiasaan Individu : kebiasaan yang terakumulasi dan tidak dikoreksi akan dapat menimbulkan pelanggaran. Contohnya; anggota DPR yang setiap menelurkan kebijakan selalu ada komisi atau uang tips, ataupu ada anggota yang tidup pada saat sidang berlangsung. Hal demikian ini salah dan keliru. Namunkarena teklah dilakukan bertahun-tahun, dan pelakunya hampir mayoritas, maka perilaku yang menyimpang tadi dianggap biasa, tidak ada masalah.
  4. Lingkungan Yang Tidak Etis: Lingkungan yang memiliki daya dukung moral yang buruk, akan mampu membuat seseorang menjadi menyimpang perilakunya untuk tidak taat terhadap pedoman yang berlaku. Contonya seorang residivis kambuhan, yang selalu keluar masuk penjara. Dalam penjara yang notabene merupakan tempat yang kurang baik, maka mempebgaruhi pola pikir seseorang. Sehingga setiap kali dia masuk penjara, ketika keluar telah memiliki informasi, keahlian, ketrampilan yang baru untuk dapat menyempurnakan tndakan kejahannya.
  5. Perilaku Orang yang Ditiru: Dalam hal ini, ketika seseorang melakkan pelanggaran terhadap etika, dapat juga karena dia mengimitasi tindakan orang yang dia pandang sebagai tauladan. Seoarng anak yang setiap hari melihat ibunya dipukuli oleh bapaknya, maka bisa jadi pada saat dalam pergaulan, si anak cenderung kasar baik dalam perkataan ataupun perbuatan. Dan itu semua dia dapatkan dari pengamatan dirumah yang dilakuakan oleh bapaknya.

Sanksi Pelanggaran Etika:
  1. Sanksi Sosial : Sanksi ini diberikan oleh masyarakat sendiri, tanpa melibatkan pihak berwenang. Pelanggaran yang terkena sanksi sosial biasanya merupakan kejahatan kecil, ataupun pelanggaran yang dapat dimaafkan. Dengan demikian hukuman yang diterima akan ditentukan leh masyarakat, misalnya membayar ganti rugi dsb, pedoman yang digunakan adalah etika setempat berdasarkan keputusan bersama.
  2. Sanksi Hukum : Sanksi ini diberikan oleh pihak berwengan, dalam hal ini pihak kepolisian dan hakim. Pelanggaran yang dilakukan tergolong pelanggaran berat dan harus diganjar dengan hukuman pidana ataupun perdata. Pedomannya suatu KUHP.