Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media
arus utama (mainstream) yang bergengsi, melanggar privasi dalam
penyajian beritanya. Medan, WASPADA Online
Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream)
yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Media pers semata mencari sensasional dan tidak disadarinya telah merugikan
publik. Permasalahan ini dinilai bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik
wartawan Indonesia yang baru, menuntut wartawan menempuh cara yang
profesional termasuk menghormati hak privasi atau masalah kehidupan pribadi
orang.
Demikian terungkap dalam Seminar Sehari "Etika Privasi dan Pengaduan
Publik" diadakan oleh Lembaga Pers Dr. Sutomo bekerjasama dengan Exxon
Mobil di Madani Hotel Medan, Rabu (5/12), dengan pembicara pengajar LPDS
Atmakusamah Astraatmadja, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso,
Ketua PWI Sumut H.A. Muchyan AA, Direktur Eksekutif Yayasan Kajian Informasi,
Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) J Anto dimoderatori Warief
Djajanto juga pengajar LPDS. Atmakusamah yang juga ketua Dewan Pengurus Voice of Human Right
(VHR) News Centre di Jakarta, dalam seminar itu, mengatakan bentuk
pelanggaran etika privasi yang kerap dilakukan media pers antara lain pers
membuat nama lengkap, identitas dan foto anak di bawah umur (di bawah 16
tahun) yang melakukan tindak pidana, pasangan bukan suami istri yang
berkencan terkena hukuman cambuk seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) dan pelaku tindak kejahatan serta aborsi.
Menurut Atmakusumah, hubungan intim dan aborsi termasuk masalah privasi
sepanjang peristiwa itu tidak terjadi tindak kekerasan karena dalam etika
pers, aborsi juga termasuk dalam kategori perawatan kesehatan dan pengobatan. Kategori privasi lainnya adalah kelahiran, kematian dan perkawinan yang
pemberitaannya harus memperoleh izin dari subjek berita yang bersangkutan
dari keluarganya. Atmakusumah menyayangkan, pelanggaran kode etik ini banyak
dilakukan media arus utama yang telah merugikan publik.
Contoh kasus, katanya, di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) secara
sensasional media pers membuat foto, nama lengkap dosen dan mahasiswa yang
melakukan hubungan intim termasuk mahasiswa yang melakukan aborsi. Selain
itu, hukum cambuk bagi bukan suami istri berkencan di NAD disiarkan foto dan
identitasnya. Sangat sedikit media berusaha menghindari pelanggaran etika
dalam pemberitaan itu. "Seharusnya berita IPDN dan pelanggaran qanun khalwat disiarkan sanksi
pelanggarannya saja tanpa menyiarkan identitas dan foto mereka,"
katanya.
Sementara Lukas Luwarso mengatakan, dampak pelanggaran kode etik
jurnalistik, Dewan Pers menangani 900 pengaduan masyarakat selama 2000-2007.
Dewan Pers telah menyelesaikan pengaduan itu dengan menyurati media pers
berisi imbauan dan saran.
Menjadi hal lumrah Ketua PWI Sumut HA Muhyan AA mengatakan, khusus di Sumut pelanggaran etika jurnalistik seperti hal yang lumrah. Dia juga memampangkan beberapa contoh berita dan foto sadis yang diterbitkan media lokal dan mendapat perhatian serius dari pembicara dan Dewan Pers.
Menurut Muhyan, pelanggaran UU No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik
jurnalistik disebabkan beberapa faktor yakni lemahnya sanksi hukum terhadap
media dan wartawan yang terbukti melanggar hukum, lemahnya pengawasan Dewan
Pers, organisasi pers dan masyarakat atas pelanggaran kode etik, lemahnya
pemahaman atas UU No 40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik, tidak adanya
standarisasi profesi, penerbitan dan organisasi kewartawanan. Rendahnya
kesejahteraan wartawan juga salah satu faktor.
|
Seorang dosen yang mengajar
sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan
pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif
sekaligus melanggar etika perguruan tingginya. Dalam dunia periklanan, sangat
disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan
hukum positif tersebut sudah sangat kacau balau. Banyak undang-undang di
Indonesia yang mengacau balaukan antara area cakupan etika dan area cakupan
hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan
dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang
berbunyi: ”Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar
etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.”
Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum
positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa ”pidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)”). Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup
tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998
ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari
data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal
kerugian negara yang cukup besar.
Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah
berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada
yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih
leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti
penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus baru- baru ini. Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian masyarakat adalah LC
fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah uang yang cukup
fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa gelintir saja. Ini
lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI tahun 2004.
Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup lengkap. Sebut saja UU
No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah
sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan
beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik Internal maupun eksternal
juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan operasional perbankan. Namun
masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan penyimpangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar